Bangkok - Bagi kaum muslim di Indonesia, tidaklah susah untuk menemukan makanan yang telah dijamin kehalalannya, mengingat negeri dengan ibukota Jakarta ini merupakan negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia. Namun bagi muslim di Thailand yang merupakan minoritas, jalan terjal harus ditempuh. Tapi siapa sangka, belakangan muslim di Thailand malah 'memimpin' untuk persoalan label halal dibanding dengan negara tetangga.
Berdasarkan data sensus terakhir yang diadakan pada 2010, muslim di Thailand hanya berjumlah 4,6 persen. Negeri yang terkenal dengan aneka suguhan wisatanya ini memang didominasi oleh pemeluk agama Budha yang jumlahnya mencapai 94,6 persen. Sisanya merupakan pemeluk kristiani (0,7 persen) dan pemeluk keyakinan dan kepercayaan lain.
Besarnya pemeluk non muslim membuat peredaran daging babi dan zat atau enzim yang menjadi turunannya, angkanya begitu tinggi. Hal ini memunculkan persoalan bagi muslim di Thailand, karena mereka harus sangat hati-hati untuk memilih makanan yang benar-benar halal. Sampai akhirnya pada tahun 1995, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Chulongkorn University, membangun sebuah penelitian yang khusus bertujuan untuk membedakan mana makanan yang halal dan yang haram. Program dengan nama 'The Halal Science Center' ini digagas oleh Prof Winai Dahlan.
"Di negara muslim yang jumlahnya besar seperti milik Anda (Indonesia), akan merasa sangat aman soal perkara halal dan haram. Namun bagi kami yang tinggal di negara non muslim, kami harus sangat hati-hati," ujar Winai yang merupakan cucu dari pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan ini, Rabu (27/2/2013).
Kepada rombongan wartawan dari Indonesia yang mengikuti program Media Familirization in Thailand, Winai mengatakan muslim Thailand sering kali dihadapkan pada makanan yang kandungan zatnya dalam kategori meragukan. Hal itulah, yang memicunya untuk membentuk 'The Halal Science Center'.
"Persoalannya pada zat yang meragukan. Kalau memang zat yang jelas halal, atau jelas haram itu bukan masalah. Ulama juga hanya bisa bilang, mana yang halal, mereka tidak bisa mendalami lebih jauh mengenai kandungan zat atau enzim. Di sinilah peran ilmuwan diperlukan," ujar Winai.
Pria berusia 60 tahun ini mencontohkan, pada era tahun 1990-an adanya enzim dari babi yang tercampur dalam sejumlah bahan mentah yang ada di Thailand. Setelah para peneliti dari 'The Halal Science Center' melakukan penelitian dan menyerahkan hasilnya ke majelis Islam tingkat pusat di Thailand, dilakukanlah pemberian label halal.
Belakangan, metode pemberian label halal yang digawangi oleh The Halal Science Center ini, malah menyita perhatian negara lain, yang mayoritas beragama Islam. Pasalnya, 'The Halal Science Center' mengembangkan pelabelan dengan pendekatan teknologi.
Salah satu contohnya, 'The Halal Science Center' menerapkan aplikasi scanning barcode, yang bisa dilakukan warga menggunakan tablet ataupun smartphone. Jadi, pihak 'The Halal Science Center' menyediakan software gratis untuk pemindaian label yang bisa didownload oleh siapapun.
Setelah dilakukan pemindaian, maka nanti di gadget akan muncul profil dari makanan terkait. Mulai dari siapa produsennya, batas akhir waktu konsumsi dan tentunya kepastian kehalalannya. Dengan teknologi ini, maka menutup ruang terjadinya penipuan.
Pada tahun 2006, Malaysia langsung melalui perdana menterinya Abdullah Ahmad Badawi memberi anugerah 'Best Innovation in Halal Industry' kepada 'The Halal Science Center'. Pada tahun 2009, penghargaan serupa didapatkan dari Filipina. Lalu di 2011, Malaysia kembali memberi penghargaan dengan titel 'Halal Research Summit'.
"Target kami, ya biar kami merupakan minoritas kami bisa memimpin dalam teknologi produk halal," ujar Winai.
(fjr/rmd)