Hal tersebut diungkapkan Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), di Hotel Indonesia Kempisnki, Jakarta, Rabu (23/7/2014).
"Kita ada jalan tol portofolio Rp 3,2 triliun, powerplant Rp 7,1 triliun, telekomunikasi Rp 9 triliun. Jadi ada sekitar Rp 20 triliun. Tapi ke depan kita lihat kalau likuidtas seperti ini, perbankan agak kurang berani masuk ke infrastruktur," papar Jahja.
Strategi ini dipilih lantaran penyaluran kredit di sektor infrastruktur kurang memberi imbal hasil yang kompetitif. "Kalau di Infrastruktur, penyalurannya besar (secara nilai) tapi imbal hasilnya tipis dan jangka panjang," kata Jahja.
Di sisi lain, bank harus mengejar pendapatan bunga yang cenderung kompetitif dari penyaluran kredit untuk mengimbangi tingginya bunga simpanan. Alasan ini yang mendasari perusahaan lebih memprioritaskan penyaluran kredit di komersial dan UKM.
"Dengan indikator-indikator perekonomian Indonesia mengalami perlambatan, dan volatilitas nilai tukar rupiah yang terus berlanjut, serta likuiditas yang lebih ketat, merupakan hal yang penting bagi BCA untuk menjaga pertumbuhan kredit pada level yang tepat serta memperkuat posisi likuiditas dan permodalan," terang Jahja.
Di sisi lain, Jahja berharap agar presiden baru dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi ke level 6,5%.
"Kita di industri perbankan berharap supaya pemerintah baru nanti mendukung ekonomi untuk dapat terus tumbuh. Kalau tumbuh, industri perbankan kan juga tumbuh. Kami yakin bahwa BCA akan berada pada posisi yang menguntungkan untuk menangkap peluang pada saat ekonomi Indonesia kembali baik," jelasnya.
(hds/hds)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!